Ali adalah salah satu dari empat sahabat nabi yang paling dikenal (khulafaur rasyidin). Berikut kisah Ali bin Abi Thalib dari saat beliau memeluk Agama Islam, kisahnya berinteraksi dengan orang Yahudi, cerita ketika Ali terlambat shalat, pernikahannya dengan Fatimah putri dari Rasulullah SAW, prestasinya sebagai khilafah, hingga kisah wafatnya Ali.
Ali Masuk Islam
Nama lengkap Ali bin Abi Thalib adalah Ali bin Abi Thalib bin Abd al-Muthalib bin Hasyim bin Abd Manaf bin Qushaiy bin Kilab bin Murrat bin Ka’b bin Luayyi bin Ghalib al-Qurasyi al-Hasyimi al-Makki al- Madani al-Kufi.
Ketika terlahir dan pada saat itu Abu Thalib, maka ibundanya memberi nama Haidarah tetapi ketika Abu Thalib datang, maka diganti dengan nama Ali.
Ali bin Abi Thalib memiliki nama panggilan di antaranya yaitu:
- Abu al- Hasan, sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Abd al-Muthalib bi Rabi’ah dalam kisah yang panjang, sesungguhnya Ali bin Abi Thalib berkata: “Saya adalah Abu Hasan al-Qarm.
- Abu Turab, ini adalah panggilan yang diberikan oleh Rasulullah saw kepadanya dan Ali sangat menyukai dan sangat senang apabilan dipanggil dengan nama itu. Sahl bin Sa’d ra berkata: “Nama panggilan yang paling disukai oleh Ali adalah Abu Turab, dan Ali lebih gembira dipanggil dengan nama itu dan tidak ada yang menamainya Abu Turab kecuali Nabi saw.”
- Abu al- Qusham, dipanggil dengan panggilan itu ketika terjadi perang Uhud. Ali maju dan membawa bendera dan berhadapan dengan kaum musyrikin seraya berteriak: “Saya adalah Abu al-Qusham.”
Kisah Ali bin Abi Thalib dengan Orang Yahudi
Suatu hari, alangkah terkejutnya ia melihat seorang Yahudi memegang baju besi kesayangannya yang hilang. Sejenak, Ali berprasangka Yahudi itu telah mencurinya. la pun mendatangi Yahudi itu.
“Wahai Tuan, baju besi ini adalah baju perangku yang hilang.” kata Ali dengan sopan.
“Bukan, Tuan. Jangan mentang-mentang Tuan adalah seorang khalifah lantas Tuan berkata seperti itu.” jawab si Yahudi sengit.
“Tuan keliru. lni tak berhubungan dengan kedudukan saya. Jika demikian, marilah kita selesaikan masalah ini di pengadilan.” ajak Ali.
Si Yahudi menurut. Mereka berdua mendatangi pengadilan. Hakim yang menangani perkara mereka adalah Syuraih bin al-Harits al-Kindi. Rupanya, karena kearifan dan kebijaksanaannya, Khalifah Ali tetap mempertahankannya sebagai qadi (juru hukum).
Melihat kedatangan Syuraih si Yahudi menjadi resah. Hakim Syuraih adalah murid dari Khalifah Ali. Keputusannya nanti pasti memenangkan Ali.
“Ada masalah apakah engkau kemari, wahai Khalifah?” tanya hakim Syuraih.
“Hakim Syuraih, aku mendapati baju perangku dibawa orang Yahudi ini, sementara aku tak pernah memberikan baju itu kepadanya.” jawab Ali.
“Benarkah demikian, Tuan?” hakim Syuraih bertanya pada si Yahudi.
“Tidak benar, Tuan Hakim. Baju ini milikku karena aku yang membawanya.” bela si Yahudi.
“Wahai Khalifah, apakah Anda memiliki bukti bahwa baju ini milik Anda?” tanya hakim Syuraih lagi.
“Ya.”
“Mengapa Anda begitu yakin wahai Khalifah?”
“Karena hanya aku yang memiliki baju perang seperti ini. Dan aku tidak pernah menjual atau memberikannya pada siapa pun.” jelas Ali.
“Apakah Anda bisa mendatangkan dua orang saksi?”
“Bisa.”
“Siapakah saksi Anda?”
“Pembantuku, Qanbar, dan anakku, Hasan.”
“Maaf, wahai Khalifah. Hasan adalah putra Anda. Bagaimana kesaksian seorang anak untuk ayahnya dapat diterima?”
Ali bin Abi Thalib terperangah. la tak menduga sama sekali hakim Syuraih menolak Hasan sebagai saksinya.
“Wahai Hakim, mengapa engkau menolak kesaksian putraku? Tidakkah kau tahu Rasulullah telah mengabarkan ia adalah pemimpin para pemuda surga?” tanya Ali.
“Putramu memang penghulu pemuda surga. Aku tidak mengingkarinya. Kesaksiannyalah yang tidak bisa aku terima.” sahut hakim Syuraih bergeming.
“Aku tidak punya saksi yang lain lagi,” kata Ali.
“Jika demikian, baju ini adalah milikmu, hai Yahudi!” kata hakim Syuraih. “Engkau boleh membawanya pulang!”
“Benarkah aku dapat membawanya pulang, wahai Khalifah?” tanya si Yahudi meyakinkan diri.
“Ya, baju itu milikmu. Keputusan pengadilan ini adalah keputusan yang seadil-adilnya.” jawab Ali.
Ali bin Abi Thalib menerima keputusan itu dengan lapang dada meski ia pun merasa kecewa. Baju besi itu adalah baju kesayangannya dan benar-benar miliknya. Hakim Syuraih memenangkan si Yahudi. Apalah daya. Hukum tetaplah hukum yang harus ditegakkan. Ia sadar kedudukannya dalam permasalahan itu lemah karena kurangnya saksi.
Sebaliknya dengan si Yahudi. Kemenangan yang ia peroleh tidak membuatnya bersorak gembira. Hatinya luruh oleh ketegasan keputusan hakim Syuraih. Prasangkanya salah. Hakim yang terkenal adil itu tidak memenangkan Ali meski ia adalah gurunya.
“Wahai Khalifah, baju ini memang milikmu,” katanya sembari bersimpuh di hadapan Ali. “Aku mengambilnya saat terjatuh sepulang engkau dari Perang Shiffin. Ambillah kembali bajumu ini. Hari ini, aku telah menyaksikan keputusan adil dari seorang Muslim dan aku menyataan diri memeluk Islam. Asy-hadu anla ilaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”
Khalifah Ali bin Abi Thalib sungguh terharu. Ia memeluk si Yahudi sembari berkata: “Aku berikan baju besi itu kepadamu, juga kudaku.”
Seterusnya Khalifah Ali bin Abi Thalib tetap mempercayakan jabatan hakim kepada Syuraih bin al-Harits al-Kindi. Jabatan itu berlanjut pada pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan hingga khalifah sesudahnya.
Kisah Ali Terlambat Shalat
Dini hari itu, Ali bin Abi Thalib bergegas bangun untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah di masjid bersama Rasulullah saw. Rasulullah saw tentulah sudah berada di sana. Rasanya, hampir tidak pernah Rasulullah saw keduluan orang lain dalam berbuat kebaikan. Tidak ada yang istimewa karena memang itulah aktifitas yang sempurna untuk memulai hari, dan bertahun-tahun lamanya Ali bin Abi Thalib sudah sangat terbiasa.
Langit masih gelap, cuaca masihlah dingin, dan jalanan masih pula diselimuti kabut pagi yang turun bersama embun. Ali melangkahkan kakinya menuju masjid. Dari kejauhan, lamat-lamat sudah terdengar suara Bilal memanggil-manggil dengan adzannya yang berkumandang merdu ke segenap penjuru Kota Madinah.
Namun belumlah begitu banyak melangkah, di jalan menuju masjid, di hadapannya ada sesosok orang. Ali mengenalinya sebagai seorang kakek tua yang beragama Yahudi. Kakek tua itu melangkahkan kakinya teramat pelan sekali. Itu mungkin karena usianya yang telah lanjut. Tampak sekali ia sangat berhati-hati menyusuri jalan.
Ali sebenarnya sangat tergesa-gesa. Ia tidak ingin tertinggal mengerjakan shalat tahiyatul masjid dan qabliyah Subuh sebelum melaksanakan shalat Subuh berjamaah bersama Rasulullah dan para sahabat lainnya.
Ali paham benar bahwa Rasulullah saw mengajarkan supaya setiap umat muslim menghormati orang tua. Siapapun itu dan apapun agamanya. Maka, Ali pun terpaksa berjalan di belakang kakek itu. Tapi apa daya, si kakek berjalan amat lamban, dan karena itu pulalah langkah Ali jadi melambat. Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya. Ia khawatir kalau-kalau kakek Yahudi itu terjatuh atau kena celaka.
Setelah sekian lamanya berjalan, akhirnya waktu mendekati masjid, langit sudah mulai terang. Kakek itu melanjutkan perjalanannya, melewati masjid.
Ketika memasuki masjid, Ali menyangka shalat subuh berjamaah sudah usai. Ia bergegas. Ali terkejut sekaligus gembira, Rasulullah saw dan para sahabat masih rukuk pada rakaat yang kedua. Berarti Ali masih punya kesempatan untuk memperoleh shalat berjamaah. Jika masih bisa menjalankan rukuk bersama, berarti ia masih mendapat satu rakaat shalat berjamaah.
Sesudah Rasulullah saw mengakhiri shalatnya dengan salam, Umar bin Khattabmemberanikan diri untuk bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa hari ini shalat Subuhmu tidak seperti biasanya? Ada apakah gerangan?”
Rasulullah saw balik bertanya: “Kenapakah, ya Umar? Apa yang berbeda?”
“Kurasa sangat lain, ya Rasulullah. Biasanya engkau rukuk dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi tadi itu engkau rukuk lama sekali. Kenapa?”
Rasulullah saw menjawab: “Aku juga tidak tahu. Hanya tadi, pada saat aku sedang rukuk dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril tiba-tiba saja turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun iktidal. Dan itu berlangsung lama, seperti yang kau ketahui juga.”
Umar makin heran. “Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasulullah?”
Nabi berkata: “Aku juga belum tahu. Jibril belum menceritakannya kepadaku.”
Dengan perkenaan Allah, beberapa waktu kemudian Malaikat Jibril pun turun. Ia berkata kepada Nabi saw.: “Muhammad, aku tadi diperintahkan oleh Allah untuk menekan punggunmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapatkan kesempatan shalat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agamaNya secara bertanggung jawab. Ali menghormati seorang kakek tua Yahudi. Dari pegnhormatannya itu sampai ia terpaksa berjalan pelan sekali karena kakek itupun berjalan pelan pula. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak akan memperoleh peluang untuk mengerjakan shalat Subuh berjamaah denganmu hari ini.”
Mendengar penjelasan Jibril itu, mengertilah kini Rasulullah. Beliau sangat menyukai perbuatan Ali karena apa yang dilakukannya itu tentunya menunjukkan betapa tinggi penghormatan umat Islam kepada orang lain. Satu hal lagi, Ali tidak pernah ingin bersengaja terlambat atau meninggalkan amalan shalat berjamaah. Rasulullah menjelaskan kabar itu kepada para sahabat.
Kisah Pernikahan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Al-Zahra
Ali bin Abi Thalib telah memiliki kedudukan yang tinggi ketika belaiu masuk ke rumah kenabian yaitu rumah Rasulullah saw, kemudian mengambilnya menantu untuk dinikahkan dengan Fatimah al-Zahra yang nasabnya disandarkan kepada Rasulullah saw, dan Ali adalah ayah dari dua cucu Rasulullah saw yang mulia yaitu al-Hasan dan al-Husain serta beliau menjadi salah satu dari Ahl al-Bait yang disucikan oleh Allah swt.
Dari Abdullah bin Buraidah bin al-Hushaib, dari ayahnya, ia berkata: “Abu Bakar dan Umar datang melamar Fatimah, maka Rasulullah saw menjawab: “Dia masih kecil, tetapi ketika Ali yang datang melamar, maka Rasulullah saw menikahkannya dengan Ali.”
Fatimah ra dilahirkan dengan jarak yang terlalu jauh dari masa kenabian, dan menikah dengan Ali pada bulan Dzulqa’dah tahun 2 H setelah perang Badar ketika itu usia Fatimah masih 15 tahun dan Ali 25 tahun, sedang Abu Bakar sudah berusia 52 tahun dan Umar berusia 42 tahun.
Ibnu Abbas menceritakan: “Ali memberikan mahar kepada Fatimah berupa baju besi yang digunakan Ali untuk berperang.”
Prestasi Ali
Pada masa pemerintahan khalifah Ali, praktis hampir tidak perkembangan yang signifikan terhadap pengembangan Islam baik penaklukan wilayah ataupun yang lain karena pada masa pemerintahannya, khalifah disibukkan untuk meredam konflik yang terjadi di internal umat Islam, di antaranya konflik khalifah Ali dan Aisyah yang berakibat terjadinya perang Jamal.
Setelah itu, khalifah Ali harus menghadapi masalah yang lain yaitu konfrontasi yang dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan yang berujung terjadinya perang Siffin. Dari sinilah, konflik dalam internal Islam semakin meluas akibat arbitrase yang tidak adil sehingga umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan yaitu Syi’ah yang sangat mendukung Ali menjadi khalifah, al-Khawarij yang menganggap semua yang terlibat dalam perang Siffin dan gencatan senjata adalah kafir, dan Murji’ah yang cenderung lebih moderat dalam menilai kejadian pada perang Siffin.
Pada akhirnya, kaum ekstrimis merencanakan pembunuhan kepada tokoh-tokoh perang Siffin di antaranya Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu Musa al-Asy’ari, dan Amr bin Ash. Namun, dari keempat tokoh tersebut, yang berhasil dibunuh hanya khalifah Ali bin Abi Thalib ra.
Ali bin Abi Thalib Wafat
Terjadi fitnah besar pada kalangan sahabat yang berujung pada terjadinya perang Jamal antara Ali bin Abi Thalib dan pasukannya dengan Ummul Mukminin ‘Aisyah, Zubair dan Thalhah. Mereka semua menuntut keadilan atas terbunuhnya khalifah Utsman. Penyebab perang tersebut karena sifat fanatisme yang menyulut permusuhan di kalangan sahabat sehingga menyebabkan banyak sahabat yang meninggal pada peristiwa itu di antaranya adalah Zubair dan Thalhah.
Setelah perang Jamal usai, muncul provokasi baru yang menyebabkan terjadi di Shiffin antara Ali bin Abi Thalib denga Muawiyah bin Abu Sufyan ketika Muawiyah menolak untuk mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pada perang ini banyak sekali sahabat yang meninggal di antaranya adalah Ammar bin Yasir. Sehingga kejadian ini menginspirasi para sahabat untuk mengangkat al-Qur’an dan mengusulkan opsi gencatan senjata (arbitrase) di antara kedunya.
Delegasi dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Muawiyah adalah Amr bin Ash. Setelah arbitrase, kedua belah pihak kembali ke tempat masing-masing, namun tatkalan pasukan Ali bin Abi Thalib, munculnya sekelompok orang yang nanti akhirnya disebut sebagai aliran Khawarij di Nahrawan dan mengajak mereka untuk bergabung dengan mereka, sebagian pasukan Ali kembali dan sebagian lagi terbunuh pada perang Nahrawan pada tahun 38 H.
Atas terjadinya perang Jamal dan Shiffin, ada catatan penting yaitu seluruh sahabat bersepakat untuk menuntut keadilan atas terbunuhnya khalifah Utsman di Kufah namun mereka memiliki perbedaan tentang kapan waktunya. Sedangkan Ali bin Abi Thalib terkesan menunda tuntutan keadilan tersebut sambil menunggu situasi dan kondisi pada masa kekhalifahan stabil dulu.
Namun, Muawiyah bin Abu Sufyan yang masih sepupu dari khalifah Utsman menuntut Ali bin Abi Thalib untuk segera melaksanakan hukuman terhadap pembunuhan khalifah Utsman. Baru setelah itu, Muawiyah akan mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Setelah menjadi khalifah sekitar 5 tahun, khalifah Ali terbunuh ketika beliau mau melaksanakan shalat subuh yang dilakukan oleh salah seorang anggota khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam al-Muradi pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H.
Hikmah dari Kisah Ali bin Abi Thalib
Dari kisah Ali bin Abi Thalib di atas, kita dapat mengambil ibrah di antaranya:
- Kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai budaya, tata krama yang sudah mapan termasuk tata krama kepada orang yang lebih tua, ketika islam datang dan membawa ajaran tatanan untuk menghormati orang yang lebih tua, maka budaya dan tata krama tersebut tidak sekedar bernilai budaya tapi bahkan sebagai aplikasi tatanan agama yang diridhai Allah swt.
- Pelajaran toleransi antar manusia adalah islam yang mengajarkan pertama kali karena islam adalah agama yang menjunjung tinggi keberagaman dalam nuansa kultur kemanusiaan tanpa mengganggu privasi masing-masing dalam konteks keagamaan yang diyakini.
- Hukum adalah berkeadilan, dan di mata hukum semua sama tanpa perbedaan. Oleh karena itu, kejayaan sebuah negeri bergantung pada keadilan yang berlaku dan kehancuran sebuah negeri terletak ketidakadilan yang berlaku karena kemakmuran berawal dari keadilan dan keadilan berujung pada kemakmuran. Maka dari itu, Adil-lah dalam berhukum, dan berhukum-lah dengan adil.